Hak-Hak Bersama
Suami Isteri
Pernikahan tidak hanya menghalalkan insan yang semula haram bersetubuh, kemudian menjadi halal bagi keduanya, melainkan juga menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing dan keduanya. Suatu kewajiban yang dilakukan oleh suami adalah hak bagi istri, dan sebaliknya kewajiban yang dilakukan istri merupakan hak bagi suaminya. Dengan demikain masing-masing suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban.
Pernikahan tidak hanya menghalalkan insan yang semula haram bersetubuh, kemudian menjadi halal bagi keduanya, melainkan juga menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing dan keduanya. Suatu kewajiban yang dilakukan oleh suami adalah hak bagi istri, dan sebaliknya kewajiban yang dilakukan istri merupakan hak bagi suaminya. Dengan demikain masing-masing suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban.
Dalam hubungan suami isteri di samping hak masing-masing ada juga
hak bersama yaitu (1) hak tamattu' badani (menikmati hubungan sebadan dan
segala kesenangan badani lainnya), (2) hak saling mewarisi, (3) hak nasab anak
dan (4) hak mu'asyarah bi al-ma'ruf (saling menyenang dan membahagiakan).
Karena nomor 4 akan diuraikan tersendiri maka di bawah ini penulis uraikan
secara ringkas tiga nomor pertama.
1. Hak Tamattu' Badani
Salah satu hikmah
perkawinan adalah pasangan suami isteri satu sama lain dapat saling menikmati
hubungan seksual yang halal, bahkan berpahala. Islam memang mengakui bahwa
setiap manusia normal membutuhkan penyaluran nafsu birahi terhadap lawan
jenisnya. Islam tidak memerangi nafsu tersebut tetapi juga tidak membiarkannya
lepas tanpa kendali. Islam mengatur penyalurannya secara halal dan baik melalui
ikatan perkawinan. Karena sifatnya hak bersama, tentu juga sekaligus menjadi
kewajiban bersama. Artinya hubungan seksual bukanlah semata kewajiban suami
kepada isteri, tetapi juga merupakan kewajiban isteri kepada suami. Suami tidak
boleh mengabaikan kewajiban ini sebagaimana isteri tidak boleh menolak
keinginan suami.
2. Hak Saling Mewarisi
Hubungan saling mewarisi terjadi karena dua sebab: Pertama, karena hubungan darah; kedua, karena hubungan perkawinan. Dalam hubungan perkawinan ini yang mendapat warisan hanyalah pasangan suami isteri. Suami mewarisi isteri dan isteri mewarisi suami. Dalam Surat An-Nisa' ayat 12 dijelaskan bahwa suami mendapat 1/2 (setengah) dari harta warisan bila isteri tidak punya anak, dan 1/4 (seperempat) bila isteri punya anak. Sebaliknya isteri dapat 1/4 (seperempat) bila suami tidak
punya anak, dan 1/8 (seperdelapan) bila suami punya anak. "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu." (Q.S. An-Nisa' 4:12) Hubungan saling mewarisi hanya berlaku dalam perkawinan yang sah menurut syari'at Islam dan sesama Muslim. Bila perkawinannya tidak sah,
atau salah seorang tidak Muslim baik dari awal atau di tengah-tengah pekawinan maka haknya batal.
Hubungan saling mewarisi terjadi karena dua sebab: Pertama, karena hubungan darah; kedua, karena hubungan perkawinan. Dalam hubungan perkawinan ini yang mendapat warisan hanyalah pasangan suami isteri. Suami mewarisi isteri dan isteri mewarisi suami. Dalam Surat An-Nisa' ayat 12 dijelaskan bahwa suami mendapat 1/2 (setengah) dari harta warisan bila isteri tidak punya anak, dan 1/4 (seperempat) bila isteri punya anak. Sebaliknya isteri dapat 1/4 (seperempat) bila suami tidak
punya anak, dan 1/8 (seperdelapan) bila suami punya anak. "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu." (Q.S. An-Nisa' 4:12) Hubungan saling mewarisi hanya berlaku dalam perkawinan yang sah menurut syari'at Islam dan sesama Muslim. Bila perkawinannya tidak sah,
atau salah seorang tidak Muslim baik dari awal atau di tengah-tengah pekawinan maka haknya batal.
3. Hak Nasab Anak
Anak yang dilahirkan dalam hubungan perkawinan adalah anak berdua, walaupun secara formal Islam mengajarkan supaya anak dinisbahkan kepada bapaknya, sehingga seorang anak disebut Fulan ibn Fulan, atau Fulanah Bintu Fulan, bukan Fulan ibn Fulanah atau Fulanah Bintu Fulanah. Apapun yang terjadi kemudian (misalnya perceraian) status anak tetap anak berdua. Masing-masing tidak dapat mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut, walaupun pengadilan dapat memilih dengan siapa anak ikut. Perlu juga diingatkan di sini bahwa penisbahan seorang anak kepada bapaknya secara formal tetap berlaku sekalipun bagi anak perempuan
setelah menikah. Anak perempuan kalau sudah menikah tidak diajarkan oleh Islam untuk menisbahkan dirinya kepada suami sebagaimana yang menjadi tradisi sebagian masyarakat kita.
Kewajiban Suami Kepada Isteri
Hak isteri atau kewajiban suami kepada isteri ada empat: (1) Membayar
mahar, (2) memberikan nafkah (3) menggauli isteri dengan sebaik-baiknya (ihsan al-'asyarah), dan (4) membimbing dan membina keagamaan isteri.
Anak yang dilahirkan dalam hubungan perkawinan adalah anak berdua, walaupun secara formal Islam mengajarkan supaya anak dinisbahkan kepada bapaknya, sehingga seorang anak disebut Fulan ibn Fulan, atau Fulanah Bintu Fulan, bukan Fulan ibn Fulanah atau Fulanah Bintu Fulanah. Apapun yang terjadi kemudian (misalnya perceraian) status anak tetap anak berdua. Masing-masing tidak dapat mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut, walaupun pengadilan dapat memilih dengan siapa anak ikut. Perlu juga diingatkan di sini bahwa penisbahan seorang anak kepada bapaknya secara formal tetap berlaku sekalipun bagi anak perempuan
setelah menikah. Anak perempuan kalau sudah menikah tidak diajarkan oleh Islam untuk menisbahkan dirinya kepada suami sebagaimana yang menjadi tradisi sebagian masyarakat kita.
Kewajiban Suami Kepada Isteri
Hak isteri atau kewajiban suami kepada isteri ada empat: (1) Membayar
mahar, (2) memberikan nafkah (3) menggauli isteri dengan sebaik-baiknya (ihsan al-'asyarah), dan (4) membimbing dan membina keagamaan isteri.
1. Mahar
Mahar adalah pemberian wajib dari suami untuk istri. Suami tidak boleh memanfaatkannya kecuali seizin dan serela istri. (Q.S. An-Nisa' 4:20-21). Jumlah minimal dan maksimal mahar tidak ditentukan oleh Syara'. Tergantung kemampuan suami dan kerelaan istri. Yang penting ada nilainya. Bahkan boleh dengan sepasang sandal, atau mengajarkan beberapa ayat Al-Qur'an, atau masuk Islam, seperti yang pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW:
"Diriwayatkan dari Amir ibn Rabi'ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah kawin dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah bertanya : "Apakah engkau rela dari diri dan hartamu dengan sepasang sandal?" Perempuan itu menjawab : "Ya". Lalu Rasulullah SAW membolehkannya." (H.R. Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi) Diriwayatkan dari Sahal ibn Ba'ad bahwa seorang wanita datang bertanya kepada Nabi SAW : "Ya Rasulullah, aku serahkan diriku kepadamu (mencari suami)." Wanita itu lama menunggu sampai seorang laki-laki
berdiri dan berkata : "Ya Rasulullah, kawinkan dia dengan aku jika engkau tidak menginginkannya." Kemudian Rasulullah bertanya : "Engkau punya sesuatu untuk membayar mahar kepadanya." Laki-laki itu menjawab : "Tidak ada kecuali pakaian ini." Kata Nabi SAW: "Jika kau berikan pakaianmu itu, tentu kamu tidak punya pakaian lagi. Carilah yang lain." Laki-laki itu berkata: "Aku tidak punya apa-apa lagi". Kata Rasulullah: "Carilah walau sebuah cincin besi". Dia berusaha mencarinya tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Kemudian Rasulullah bertanya
kepadanya: "Apakah engkau mengetahui sesuatu tentang Al-Qur'an?" Kata laki-laki itu : "Ada. Surat ini, surat ini..", seraya menyebutkan beberapa nama surat. Kemudian Nabi SAW bersabda: "Aku kawinkan dia dengan engkau dengan mahar Al-Qur'an yang ada padamu." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Mahar adalah pemberian wajib dari suami untuk istri. Suami tidak boleh memanfaatkannya kecuali seizin dan serela istri. (Q.S. An-Nisa' 4:20-21). Jumlah minimal dan maksimal mahar tidak ditentukan oleh Syara'. Tergantung kemampuan suami dan kerelaan istri. Yang penting ada nilainya. Bahkan boleh dengan sepasang sandal, atau mengajarkan beberapa ayat Al-Qur'an, atau masuk Islam, seperti yang pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW:
"Diriwayatkan dari Amir ibn Rabi'ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah kawin dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah bertanya : "Apakah engkau rela dari diri dan hartamu dengan sepasang sandal?" Perempuan itu menjawab : "Ya". Lalu Rasulullah SAW membolehkannya." (H.R. Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi) Diriwayatkan dari Sahal ibn Ba'ad bahwa seorang wanita datang bertanya kepada Nabi SAW : "Ya Rasulullah, aku serahkan diriku kepadamu (mencari suami)." Wanita itu lama menunggu sampai seorang laki-laki
berdiri dan berkata : "Ya Rasulullah, kawinkan dia dengan aku jika engkau tidak menginginkannya." Kemudian Rasulullah bertanya : "Engkau punya sesuatu untuk membayar mahar kepadanya." Laki-laki itu menjawab : "Tidak ada kecuali pakaian ini." Kata Nabi SAW: "Jika kau berikan pakaianmu itu, tentu kamu tidak punya pakaian lagi. Carilah yang lain." Laki-laki itu berkata: "Aku tidak punya apa-apa lagi". Kata Rasulullah: "Carilah walau sebuah cincin besi". Dia berusaha mencarinya tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Kemudian Rasulullah bertanya
kepadanya: "Apakah engkau mengetahui sesuatu tentang Al-Qur'an?" Kata laki-laki itu : "Ada. Surat ini, surat ini..", seraya menyebutkan beberapa nama surat. Kemudian Nabi SAW bersabda: "Aku kawinkan dia dengan engkau dengan mahar Al-Qur'an yang ada padamu." (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Nafkah
Nafkah adalah menyediakan segala keperluan isteri berupa makanan, minuman, pakaian, rumah, pembantu, obat-obat dan lain-lain. Hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma'. "Kewajiban atas bapak memberi belanja ibu anaknya dan pakaian secara ma'ruf. Tidak diberati seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya..." (Q.S. Al-Baqarah 2:233).
"Tempatkanlah mereka di mana kamu tinggal, menurut tenagamu, dan janganlah kamu memberi melarat kepada mereka sehingga kamu menyusahkan
..." (Q.S. At-Thalaq 65:6). "Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Barang siapa yang sedikit rezekinya, hendaklah memberi nafkah menurut rezeki yang diberikan Allah itu. Allah tidak memberati
diri seseorang kecuali menurut yang diberikan Allah kepadanya. Nanti Allah akan mengadakan kemudahan sesudah kesulitan. "(Q.S. At-Thalaq
65:7). Rasulullah SAW bersabda di waktu haji Wada': "...Dan kewajibanmu atas mereka (isteri-isterimu) adalah memberi makan dan pakaian dengan ma'ruf." (H. R. Muslim). Kewajiban suami memberikan nafkah kepada isterinya sebanding
dengan kewajiban isteri mematuhi dan meladeni suami, menyelenggarakan dan mengatur urusan rumah tangga serta mendidik anak. Kewajiban memberi nafkah gugur bila aqad nikahnya tidak sah, bila isteri tidak bersedia digauli atau tidak bersedia hidup bersama atau tidak bersedia mengikuti kepindahan suami ke suatu tempat. Berapa jumlah nafkah yang wajib dibayar suami ditentukan oleh
'urf (sesuatu yang sudah dikenal baik secara luas oleh masyarakat),
maksudnya disesuaikan dengan kewajaran, kelaziman dan kemampuan suami.
Suamipun tidak boleh kikir; mampu tapi tidak mau mencukupi kebutuhan isteri atau keluarganya.
Nafkah adalah menyediakan segala keperluan isteri berupa makanan, minuman, pakaian, rumah, pembantu, obat-obat dan lain-lain. Hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma'. "Kewajiban atas bapak memberi belanja ibu anaknya dan pakaian secara ma'ruf. Tidak diberati seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya..." (Q.S. Al-Baqarah 2:233).
"Tempatkanlah mereka di mana kamu tinggal, menurut tenagamu, dan janganlah kamu memberi melarat kepada mereka sehingga kamu menyusahkan
..." (Q.S. At-Thalaq 65:6). "Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Barang siapa yang sedikit rezekinya, hendaklah memberi nafkah menurut rezeki yang diberikan Allah itu. Allah tidak memberati
diri seseorang kecuali menurut yang diberikan Allah kepadanya. Nanti Allah akan mengadakan kemudahan sesudah kesulitan. "(Q.S. At-Thalaq
65:7). Rasulullah SAW bersabda di waktu haji Wada': "...Dan kewajibanmu atas mereka (isteri-isterimu) adalah memberi makan dan pakaian dengan ma'ruf." (H. R. Muslim). Kewajiban suami memberikan nafkah kepada isterinya sebanding
dengan kewajiban isteri mematuhi dan meladeni suami, menyelenggarakan dan mengatur urusan rumah tangga serta mendidik anak. Kewajiban memberi nafkah gugur bila aqad nikahnya tidak sah, bila isteri tidak bersedia digauli atau tidak bersedia hidup bersama atau tidak bersedia mengikuti kepindahan suami ke suatu tempat. Berapa jumlah nafkah yang wajib dibayar suami ditentukan oleh
'urf (sesuatu yang sudah dikenal baik secara luas oleh masyarakat),
maksudnya disesuaikan dengan kewajaran, kelaziman dan kemampuan suami.
Suamipun tidak boleh kikir; mampu tapi tidak mau mencukupi kebutuhan isteri atau keluarganya.
3. Ihsan al-'Asyarah
Ihsan al-'Asyarah artinya bergaul dengan isteri dengan cara yang sebaik-baiknya. Teknisnya terserah kepada kiat masing-masing suami. Misalnya: Membuat isteri gembira, tidak mencurigai isteri, menjaga rasa malu isteri, tidak membuka rahasia isteri pada orang lain, mengizinkannya mengunjungi orang tua dan familinya, membantu isteri apabila ia memerlukan bantuan--sekalipun dalam tugas-tugas rumah tangga, menghormati harta miliknya pribadi dan lain-lain. Ihsan al-'Asyarah adalah suatu kewajiban berdasarkan firman Allah :
"... Bergaullah dengan isterimu dengan cara yang ma'ruf ..." ( Q.S. An-Nisa'4:29).
Rasulullah SAW sudah memberikan contoh teladan bagaimana bergaul dengan isteri dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu beliau menegaskan : "Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan yang paling baik di antara mereka ialah yang paling baik terhadap isterinya." (H.R. Ahmad)
Ihsan al-'Asyarah artinya bergaul dengan isteri dengan cara yang sebaik-baiknya. Teknisnya terserah kepada kiat masing-masing suami. Misalnya: Membuat isteri gembira, tidak mencurigai isteri, menjaga rasa malu isteri, tidak membuka rahasia isteri pada orang lain, mengizinkannya mengunjungi orang tua dan familinya, membantu isteri apabila ia memerlukan bantuan--sekalipun dalam tugas-tugas rumah tangga, menghormati harta miliknya pribadi dan lain-lain. Ihsan al-'Asyarah adalah suatu kewajiban berdasarkan firman Allah :
"... Bergaullah dengan isterimu dengan cara yang ma'ruf ..." ( Q.S. An-Nisa'4:29).
Rasulullah SAW sudah memberikan contoh teladan bagaimana bergaul dengan isteri dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu beliau menegaskan : "Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan yang paling baik di antara mereka ialah yang paling baik terhadap isterinya." (H.R. Ahmad)
4. Membimbing dan Mendidik Keagamaan Isteri
Seorang suami bertanggung jawab di hadapan Allah terhadap isterinya karena dia adalah pemimpinnya. Setiap pemimpin harus mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Oleh karena itu menjadi kewajiban suami mengajar dan mendidik isterinya supaya menjadi seorang imraah shalihah. Dia harus mengajarkan hal-hal yang harus diketahui oleh seorang wanita tentang masalah agamanya terutama syari'ah, seperti masalah thaharah, wudhu', haidh, nifas, shalat, puasa dzikir, membaca Al-Qur'an, kewajiban wanita terhadap suami, anak-anak, orang tua, tetangga dan karib kerabat. Juga tentang cara berpakaian dan tata pergaulan yang Islami serta hal-hal lainnya. Di samping mengajar, seorang suami mempunyai kewajiban membimbing isterinya mengamalkan
ajaran Islam. Jika seorang suami tidak mampu mengajarkannya sendiri, dia harus memberikan izin kepada isterinya untuk belajar di luar atau mendatangkan guru ke rumah atau minimal menyediakan buku bacaan.
Kewajiban Isteri Kepada Suami
Hak suami atau kewajiban isteri kepada suami hanya dua: (1) Patuh pada suami dan (2) bergaul dengan suami dengan sebaik-baiknya (ihsan al-'asyarah).
Seorang suami bertanggung jawab di hadapan Allah terhadap isterinya karena dia adalah pemimpinnya. Setiap pemimpin harus mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Oleh karena itu menjadi kewajiban suami mengajar dan mendidik isterinya supaya menjadi seorang imraah shalihah. Dia harus mengajarkan hal-hal yang harus diketahui oleh seorang wanita tentang masalah agamanya terutama syari'ah, seperti masalah thaharah, wudhu', haidh, nifas, shalat, puasa dzikir, membaca Al-Qur'an, kewajiban wanita terhadap suami, anak-anak, orang tua, tetangga dan karib kerabat. Juga tentang cara berpakaian dan tata pergaulan yang Islami serta hal-hal lainnya. Di samping mengajar, seorang suami mempunyai kewajiban membimbing isterinya mengamalkan
ajaran Islam. Jika seorang suami tidak mampu mengajarkannya sendiri, dia harus memberikan izin kepada isterinya untuk belajar di luar atau mendatangkan guru ke rumah atau minimal menyediakan buku bacaan.
Kewajiban Isteri Kepada Suami
Hak suami atau kewajiban isteri kepada suami hanya dua: (1) Patuh pada suami dan (2) bergaul dengan suami dengan sebaik-baiknya (ihsan al-'asyarah).
1. Patuh Pada Suami
Seorang isteri wajib mematuhi suaminya selama tidak dibawa ke lembah kemaksiatan. Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang orang yang paling berhak dipatuhi oleh seorang isteri. Rasulullah menjawab : "Suaminya" (H. R. Hakim). Dalam kesempatan lain lebih ditekankan lagi oleh Rasulullah SAW : "Kalau aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang, tentu akan aku perintahkan seorang isteri untuk sujud pada suaminya, mengingat sangat besarnya kewajiban seorang isteri mematuhi suaminya."(H.R. Ab- Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hiban). Dalam hadits lain Rasulullah menempatkan wanita yang patuh pada suaminya sebagai wanita yang terbaik : "Sebaik-baik wanita adalah yang apabila engkau memandang kepadanya menggembirakanmu, apabila engkau suruh dia patuh, apabila engkau beri nafkah dia menerima dengan baik, dan apabila engkau tidak ada di sampingnya dia akan menjaga diri dan hartamu." (H.R. Nasa'i) Taat atau patuh pada suami tidaklah bersifat mutlak. Harus selalu dikaitkan dengan ma'ruf, artinya selama tidak membawa kepada kemaksiatan. Apabila suami mengajak isterinya untuk melakukan yang haram atau meninggalkan kewajiban, maka isteri berhak menentangnya dengan cara yang bijaksana, bahkan harus berusaha menyadarkannya dan kembali membawanya ke jalan yang benar. Tapi dalam hal yang mubah atau sunat yang menyebabkan suami kehilangan haknya, si isteri harus mengikuti suami, misalnya puasa sunat, haji sunat atau keluar rumah. Dalam salah satu hadits Rasulullah SAW menjelaskan :
"Di antara hak suami dari isterinya adalah tidak menolak disebadani-sekalipun di atas kenderaan, tidak puasa sunat kecuali dengan izinnya--jika dia tetap berpuasa, maka dia berdosa dan puasanya tidak diterima--, tidak memberikan sesuatu yang ada di rumah kecuali seizin suami-- jika ia berikan juga suami mendapatkan pahala, sedangkan si isteri berdosa--, tidak keluar meninggalkan rumah kecuali seizinnya, jika ia keluar juga maka Allah akan melaknatnya beserta Malaikat hingga dia tobat atau kembali ke rumah, sekalipun suaminya seorang yang zalim. (H.R. Ab- Daud). Suami mendapatkan hak istimewa untuk dipatuhi isteri mengingat posisinya sebagai pemimpin dan kepala keluarga yang berkewajiban menafkahi keluarganya. Allah SWT berfirman menegaskan hal tersebut: "Hak-hak perempuan (isteri) seumpama kewajiban yang dipikulkan kepadanya secara ma'ruf, dan untuk laki-laki (suami) ada kelebihan satu derajat dari perempuan. Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana." (Q.S. Al-Baqarah 2:288). "Laki-laki itu (suami) menjadi pemimpin terhadap wanita (isteri). Sebab Allah melebihkan sebagian mereka dari sebagian, dan karena mereka (suami) memberi belanja dari hartanya (bagi isteri)." (Q.S. An-Nisa' 4:34).
Seorang isteri wajib mematuhi suaminya selama tidak dibawa ke lembah kemaksiatan. Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang orang yang paling berhak dipatuhi oleh seorang isteri. Rasulullah menjawab : "Suaminya" (H. R. Hakim). Dalam kesempatan lain lebih ditekankan lagi oleh Rasulullah SAW : "Kalau aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang, tentu akan aku perintahkan seorang isteri untuk sujud pada suaminya, mengingat sangat besarnya kewajiban seorang isteri mematuhi suaminya."(H.R. Ab- Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hiban). Dalam hadits lain Rasulullah menempatkan wanita yang patuh pada suaminya sebagai wanita yang terbaik : "Sebaik-baik wanita adalah yang apabila engkau memandang kepadanya menggembirakanmu, apabila engkau suruh dia patuh, apabila engkau beri nafkah dia menerima dengan baik, dan apabila engkau tidak ada di sampingnya dia akan menjaga diri dan hartamu." (H.R. Nasa'i) Taat atau patuh pada suami tidaklah bersifat mutlak. Harus selalu dikaitkan dengan ma'ruf, artinya selama tidak membawa kepada kemaksiatan. Apabila suami mengajak isterinya untuk melakukan yang haram atau meninggalkan kewajiban, maka isteri berhak menentangnya dengan cara yang bijaksana, bahkan harus berusaha menyadarkannya dan kembali membawanya ke jalan yang benar. Tapi dalam hal yang mubah atau sunat yang menyebabkan suami kehilangan haknya, si isteri harus mengikuti suami, misalnya puasa sunat, haji sunat atau keluar rumah. Dalam salah satu hadits Rasulullah SAW menjelaskan :
"Di antara hak suami dari isterinya adalah tidak menolak disebadani-sekalipun di atas kenderaan, tidak puasa sunat kecuali dengan izinnya--jika dia tetap berpuasa, maka dia berdosa dan puasanya tidak diterima--, tidak memberikan sesuatu yang ada di rumah kecuali seizin suami-- jika ia berikan juga suami mendapatkan pahala, sedangkan si isteri berdosa--, tidak keluar meninggalkan rumah kecuali seizinnya, jika ia keluar juga maka Allah akan melaknatnya beserta Malaikat hingga dia tobat atau kembali ke rumah, sekalipun suaminya seorang yang zalim. (H.R. Ab- Daud). Suami mendapatkan hak istimewa untuk dipatuhi isteri mengingat posisinya sebagai pemimpin dan kepala keluarga yang berkewajiban menafkahi keluarganya. Allah SWT berfirman menegaskan hal tersebut: "Hak-hak perempuan (isteri) seumpama kewajiban yang dipikulkan kepadanya secara ma'ruf, dan untuk laki-laki (suami) ada kelebihan satu derajat dari perempuan. Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana." (Q.S. Al-Baqarah 2:288). "Laki-laki itu (suami) menjadi pemimpin terhadap wanita (isteri). Sebab Allah melebihkan sebagian mereka dari sebagian, dan karena mereka (suami) memberi belanja dari hartanya (bagi isteri)." (Q.S. An-Nisa' 4:34).
2. Ihsan al-'Asyarah
Ihsan al-'Asyarah isteri terhadap suaminya antara lain dalam bentuk: Menerima pemberian suami, lahir dan batin dengan rasa puas dan terima kasih, serta tidak menuntut hal-hal yang tidak mungkin, meladeni suami dengan sebaik-baiknya (makan, minum, pakaian dan sebagainya), memberikan perhatian pada suami sampai hal-hal yang kecil-kecil (misalnya kalau suami pergi kerja antarlah sampai ke pintu, kalau pulang jemputlah ke pintu, sehingga hati suami terpaut untuk selalu di rumah apabila tidak bertugas), menjaga penampilan supaya selalu rapi dan menarik, dan lain-lain sebagainya.
Ihsan al-'Asyarah isteri terhadap suaminya antara lain dalam bentuk: Menerima pemberian suami, lahir dan batin dengan rasa puas dan terima kasih, serta tidak menuntut hal-hal yang tidak mungkin, meladeni suami dengan sebaik-baiknya (makan, minum, pakaian dan sebagainya), memberikan perhatian pada suami sampai hal-hal yang kecil-kecil (misalnya kalau suami pergi kerja antarlah sampai ke pintu, kalau pulang jemputlah ke pintu, sehingga hati suami terpaut untuk selalu di rumah apabila tidak bertugas), menjaga penampilan supaya selalu rapi dan menarik, dan lain-lain sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar